Selasa, 17 Mei 2011

Turi-turin Beri Ginting

Turi-Turin Beru Ginting Sope Mbelin
Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.
Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.
Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.
Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.
Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.
Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan.
Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.
Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.
Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.
Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antara lain:
a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.
Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.

Disadur Dari: Rapolo

Tunggal Panaluan

Tongkat Tunggal Panaluan oleh semua sub suku Batak diyakini memiliki kekuatan gaib untuk : meminta hujan, menahan hujan (manarang udan), menolak bala, Wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, membantu dalam peperangan dll. Ada beberapa versi mengenai kisah terjadinya tongkat Tongkat Tunggal Panaluan yang memiliki persamaan dan perbedaan, sehingga motif yang terdapat pada tongkat Tongkat Tunggal Panaluan juga bervariasi. Salah satu kisahnya sebagai berikut :
sepasang suami istri yaitu Datu Baragas Tunggal Pambarbar Na Sumurung (ahli ukir) dan istrinya Nan Sindak Panaluan, sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak. Mereka menanyakan hal tersebut kepada ahli ramal, ahli ramal menganjurkan agar mengganti patung-patung yang ada di rumahnya dengan yang lebih cantik. Maka pergilah Datu Baragas kehutan untuk mencari kayu yang cocok dijadikan patung, tetapi berhari-hari lamanya tidak ditemukan. Suatu saat ia (Baragas Tunggal) melihat di udara pohon melayang-layang tanpa cabang, daunnya kira-kira setinggi manusia. Baragas memohon kepada Mulajadi agar pohon tersebut diturunkan ke bumi dan ternyata dikabulkan. Pohon tersebut turun tepat ditempat peristirahatan (perberhentian) yang disebut Adian Naga Tolping. Baragas mengambilnya serta mulai mengukir sehingga berbentuk seorang gadis disebut Jonjong Anian. Setelah selesai, ia bermaksud membawa pulang, tetapi tidak dapat diangkatnya.
Beberapa hari kemudian saudagar kain dan perhiasan lewat lalu beristirahat ditempat tersebut. Saudagar melihat betapa cantiknya patung tersebut bila dikenakan pakaian dan perhiasan lengkap. Ia kemudian mengenakan pakaian, selendang, kerabu, kalung, gelang dan kancing emas. Ketika hendak pulang barang-barang tersebut tidak dapat dibuka walau dengan cara apapun. Lalu ia pulang dengan hati yang sangat kesal. Tersiarlah berita sampai keseluruh negeri dan sampai pada dukun Nasumurung Datu Pangabang-abang Pangubung-ubung yaitu dukun yang dapat menghidupkan kembali yang mati atau menyegarkan yang busuk. Sang dukun pergi ketempat patung tersebut dengan membawa obat berkhasiat, lalu meneteskannya ke mata patung, matanya langsung berkedip, ditetskan kehidung terus bersin, diteteskan ke bibir sehingga komat-kamit, diteteskan ke mulut terus dapat berbicara, ke telinga lalu mendengar, kepersendian, pergelangan tangan maupun kaki sehingga dapat bergerak dan berjalan sehingga patung tersebut menjadi seorang gadis cantik jelita, diberi nama siboru Jonjong Anian Siboru Tibal Tudosan.
Datu Nasumurung membangun rumah untuk tempatnya bertenun yang dikawal harimau, babi dan anjing, tangga rumahnya dibuat dari pisau-pisau yang tajam. Banyak pemuda yang simpati padanya tapi untuk bertemupun tidak bisa, namun seorang pemuda berhasil memikat hatinya yang bernama Guru Tatea Bulan dan sepakat untuk melaksanakan perkawinan. Berita itu tersebar luas diseluruh negeri dan sampai kepada Baragas (sipembuat patung), lalu mendatangi datu Pangabang-abang yang menanyakan hal itu. Terjadilah perselisihan antara sipembuat patung (pengukir), datu yang menghidupkan dan saudagar yang masing-masing mengatakan bahwa siboru Jonjong Anian adalah putrinya.
Perselisihan itu ditengahi oleh Si Raja Bahir-bahir (seorang penyumpit) yang menyatakan : Baragas (pengukir) pantas menjadi ayahnya, saudagar menjadi pamannya dan datu Pangabang-abang menjadi kakeknya. Pendapat itu disetujui dan perkawinanpun dilaksanakan. Beberapa lama kemudian, Siboru Jonjong Anian mulai mengandung (hamil). Selama hamil Guru Tatea Bulan senantiasa memenuhi permintaannya agar kelak tidak menjadi staknasi (halangan), walaupun permintaan tersebut terasa aneh, mis : meminta hati elang, nangka, pisang, ikan lumba-lumba, ayam jantan, dll. Ternyata kehamilannya diluar kebiasaan yaitu selama 12 bulan, setelah lahir ternyata kembar dua (marporhas), laki-laki dan perempuan, Guru Tatea Bulan melaksanakan pesta pemberian nama (martutu aek). Yang laki-laki dinamai Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring dan adiknya si Tapi Nauasan Siboru Panaluan.
Sumber: Berbagai Sumber

Disadur Dari: Rapolo

Simardan

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas. Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan.
Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu. Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh.
Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.
Berasal Dari Tapanuli
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red). Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.
Menjual Harta Karun
Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga. Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.
“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya.
Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.
Malu
Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung. Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya.
Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”
Kera Putih dan Tali Kapal
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. “Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”


Disadur Dari: Rapolo

Silinduat

Mara naso boi juaon ni nasa jolma. Molo nungnga songoni pangalean nituhani naikkon I do jaloon alana songon nabiasa dihataon nasa jolma apalagi saonarion holan mangarencanaon do boi anggo manottuhon holan ibana do naboi (Tuhan) .
Songon barita ni angka natua – tua naparjolo, adong ma sada baoa namaringanan dihuta siDogor-dogor Pangururan dipulau Samosir. Goarna ima Guru Hatimbulon.Guru hatimbulan didokmai sada sibaso manang pandita goar ni datu arak ni pane . Nungnga mansai leleng parsaripean nasida namargoarhon Nansindak Panaluan (ripena) alai ndang radope marianakhon.
Tung ngolgolan do guru hatimbulan dohot ripena I paima – ima andigan lehonnonna dakdanak tu nasida. Martamiang pesai digogoi nasida asa anggiat dilehon tu nasida dakdanak. Marlasnirohama nasida ala dibenge tuhan do alu-alu nasida I .Ndang sadia leleng hamil ma ripenai . Aha ma namasa tunasida? Mansai leleng do asa tubu-tubuan ripenai. Sampe do angka dongan sahutana heran marnida halakki ala dibereng Nansindak ndang ro dope tubuan anak. Ditingkii masa ma hapar,mataniari pe tung mansai marsipidas jala ndang tartaon nasida lasniari i .Dohot tanope angka siltak ala logoniari. Alanii dohot raja ni huta gelisah mamereng namasai.Ala dung songoni namasai laho ma ibana (raja)mandapothon guru hatimbulan naeng manghataon boasa sampe saonari ndang adong perubahan. Alana menurut raja nihuta ndang dope hea masa songonon. Laho ma nasida mangalu-alu tu Debata dohot maksud mangalului aha alana umbaen sampe songonon. Ditingki i ndang borhat dope nasida naeng mangalualu didokhon guru hatimbulanna tu rajai, aha haroa saonari daso tarjadi sude boi tarjadi ninna mangalusi .
Roma muse raja bius manghataon , alana sude jolma heran do jala sungkun-sungkun boasa ripemu nungnga mansai leleng ndang dope tubuan anak ninna rajai. Dohot dukunpe mandok ripemi nungnga pelelenghu ndang marna tubuan anak . umbenge hatanai mangamukma guru hatimbulan , marbadai ma nasida alai ndang adong na hassitan manang ise. Tingki ima muse ripena I tubuan anak jala silinduat, baoa dohot boru.Umbege baritai udanpe ro ma tung mansai doras . Sude angka suan-suanan tubu mansai bagak-bagak alanii lasma rohani guru hatimbulan , maneat lombu ma nasida songon tanda lasni rohana suang songoni dohot mangusir angka roha hajahaton manang padamehon.
Huhutma dijou penetua-penetua dohot raja adat.nalaho manjamu dohot paboahon naung tubu gellengnai . Dungi dibahen ma goarni sibaoai si Aji DondaHatahutan dohot boru ima goarna si boru TapiNauasan . dung sidung pestai sude angka pamili manang angka tuturna mandok asa unang sama manang asa dipisaon anaknai.Umbege hatani jolma tung alo do rohani guru hatimbulan jala dipatorang ma tu ibana molo anak silinduat apalagi anak dohot boru ndang boi sama dijaga alana boi do ninna I siboan mara.Smpe do jolma mandok asa anggiat disirang na duai .Alai tong do dijugulhon guru hatimbulan. Leleng nunga leleng jala balgama anaknai ,alai ahana didokni angka raja naparjolo tu guru hatimbulan parbuktido. Dung sidung pestai lao ma guru hatimbulan mamukka sada sopo-sopo naeng inganan ni anakna na duai ima namringanan di pusuk buhit dohot di boan
sada biang. Jadi tiap ari do bapanai mamboan manang manaruhon indahan nasida. Dungi balgama borunai ima sitapinauasan. Dinasa hali laho ma ibana mardalan laos tompuma di ida ibana siallangon na margoar piu-piu tanggule manang hau tada-tada na gok suga di bonana. Sai ro do ijurna marnida buahni tada-tada laos dijukkit ibana jala di allang buahnai massai manis, alanii laos diallang hau tada-tada ma ibana dang boi be turun, dang bot be mataniari di ida si Aji donda ma ibotonai dang di jabu. Sai dilului ma huhut marpikkiri tu dia do lao ibotonai. Adong ma di bereng ibana bogas ni pat na mirip dohot bogas ni ibotonai, sai di ihuthon ma torus huhut di jou-jou goar ni iboto nai, di bereng bapanai ma dang adong jolma di jabu di bereng ma nungga lokkot ibotonai di hau tada-tada I laos di jakkit ibana ma dohot maksud asa mamotong ibotonai, laos dohot ma ibana di allang haui, suang songoni ma biangna. Di na sahali di bereng bapana ima dang adong jolma di jabu/ di gubuk na gelleng di bereng ma hape nungga lokkot be anaknai dohot biangna, tarsonggot ma ibana mamereng na masai mamittor laho ma ibana manjou datu dohot angka dongan sahutana. Angka datu, tungkang sihir dohot angka ahli na mansai jago nungga berusaha nanaeng manolong alai dang adong hasilna, mala dohot do angka datui di allang hau tada-tadai sampe ma guru hatimbulan habis sude.
Disahali adong ma sada datu mandokkon na boi do tolong onna nasida alai dang pe nungga habis sude akka arta ni guru hatimbulan dang parduli sasude asalma boi selamat akka anakkonna, marsogotnai laho ma nasida dohot datui( datu parpansaginjang) dohot maksud laho manolong anakkonnai hape tamba so tarida do halaki sude, alai adong ma suara di bege na mandok ” ale bapa dohot inang na manubuhon au” umbegei tarsonggot ma guru hatimbulon huhut di alusi ; unang ma kutuk au alai kutuk ma dirim sandiri, alana ho do na laho tu lombang, jala ho do na di pukkul dohot tukkot ai naso boi marpinompar do ho, dungi mangkatai ma tondi: molo songoni do bapa mulai saonari baen ma panjou udan molo logo ni ari, padamehon roha ni pamarenta ta dalam negeri dongan molo porang, dohot akka panggoari tu na so denggan, dungi sae ma akka masalah, marlaoan ma nasa jolma sian ingannani jala laho tu tujuanna sandiri. Songoni ma cerita ni silinduat.
Silinduat/ Kembar
Dahulu kala ada sebuah cerita yang berasal dari Pulau Samosir di desa si dugur-dugur tinggallah seorang laki-laki bernama guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang si Baso atau pendeta namanya datu Arak ni pane. Istrinya bernama Nansindak panaluan. Mereka sudah lama menikah tetapi belum juga di karuniai seorang anak. Sesudah perempuan itu hamil maka luar biasa lamanya barulah anak itu lahir, semua penduduk kampung itu menganggap keadaan itu hal yang gaib, saat itu juga terjadi kelaparan juga teriknya tak tertahankan, kerah tanah menutupi hubangan-hubangan dan rawa-rawa. Karena kepala persatuan pemujaan roh-roh menjadi risau ia pergi menjumpai guru Hatimbulan dan mengatakan kepadanya : mengapa keadaan yang seperti ini tidak berubah-ubah karena kejadia belum pernah terjadi mereka pergi untuk mencari sebabnya dan mengajak kepada Debata atau dewa yang adil sehingga guru Hatimbulan menjawab :” semua bisa terjadi” lalu raja Bius mengatakan :” semua orang heran mengapa istrimu begitu lama hamil para bidan menerangkan bahwa kehamilan itu telah terlalu lama karena perkataan itu maka timbullah pertengkaran akan tetapi tidak ada yang cidera atau mati. Saat itu juga perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan seketika
itu juga maka hujan pun turun lebat, semua tanam-tanaman tumbuh dengan segar sehingga guru Hatimbulan memotong seekor lembu untuk mendamaikan kekuasaan jahat itu. Ia juga mengundang semua pengetua-pengetua dan kepala-kepala dalam perjamuan itu dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putra itu di beri nama Aji donda atahutan dan putri itu di bri nama Si boru Tapi nauasan. Sehabis pesta tamu-tamu telah menasehatkan supaya anak-anak itu jangan kiranya bersama-sama di asuh, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab kelahiran kembar, istimewa yang berlainan jenis adalah satu masalah yang sangat tidak baik menurut pahamter, akan tetapi guru Hatimbulan tudak mengendalikan nasehat arif bijak sana dari pengetua-pengetua dan kepala itu. Lama-kelamaan terbuktilah apa yang diungkapkan pengetua itu benar-benar. Guru Hatimbulan mendirikan gubuk kecil di bukit suci, kemana dia membawa anak-anak itu, seekor anjing kurus membawa mereka dalam setiap hari guru Hatimbulan membawa mereka setelah anak-anak itu menjadi dewasa maka putri atau gadis itu ketika berjalan-jalan kebetulan melihat sebuah pohon bernama pui-piu tanggu. Pohon itu mempunyai buah yang masak dan manis, si boru Tapinuansa ingin makan buah-buah itu karena itu ia memanjat buah pohon tersebut, ia mengambil dan memakainya akan tetapi ia di telan pohon itu dan ia menjadi satu dengan pohon tersebut, hanya saja kepalanya masih kecil dan kelihatan. Saudaranya menunggu sampai sore dalam kebimbangan mengenai nasib saudaranya kemudian dia pergi ke hutan untuk memeriksanya sambil memanggil-manggil namanya dengan suara yang nyaring. Dekat pada pohon tersebut sehingga gadis tersebut menyahutinya, Donda heran melihat kejadian itu dan menayakkan mengapa sampai terjadi hal ini. Donda memanjat pohon itu dengan maksud menolong saudaranya, akan tetapi ia juga lengket di pohon tersebut. Kedua anak itu menjerit minta tolong akan tetapi suara sedih hilang dalam gelap gulita itu. Besok paginya anjing mereka datang berlari-lari maka ia pun ikut juga tertelan di pohon itu hanya saja kepalanya kelihatan. Guru Hatimbulan telah kehabisan akal ia telah banyak mengeluarkan uang untuk datu-datu keperluan gondang dan kurban untuk roh-roh, apa saja yang ia minta diberikan tetapi ia menjadi putus asa. Beberapa hari kemudian ia menemukan datu parponsa ginjang memperkenalkan dirinya. Ia menerangkan dengan pasti bahwa ia dapat melepaskan orang-orang itu. Guru Hatimbulan mendengarnya ia menjawab janganlah kutuk saya, tetapi kutuk lah dirimu sendiri lalu roh itu berkat ” jikalau begitu semestinya bapak pergunakanlah saya dari sekarang sebagai:
Penangkal pada musim hujan
Pemanggil hujan dalam musim kemarau
Penasehat dalam pemerintahan dalam negeri
Teman seperjuangan dalam peperangan
Sumber kebusukan, kerusakan dalam penyakit dan kematian

Disadur Dari: Rapolo

Sampuraga

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta
maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.
Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.
Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.


Disadur Dari: Rapolo

Raja-raja Biak

Raja Biak-biak, dengan nama raja Gumelenggeleng. Seorang yang cacat yang tidak punya tangan, kaki sehingga dia tidak bisa duduk. Dia berkecil hati di dalam hatinya karena adik-adiknya tidak cacat.
Kabarnya: Pertama kali datang MULAJADI NABOLON, naik ke Sianjur Mulamula terus ke Guru Tateabulan mengetuk hati dan memina anaknya Sariburaja oli di potong.” Terserah Ompung! ” jawab Guru Tateabulan. Mendengar itu, Raja Biak-biak berkata kepada ibunya : ” O, ibu! Kudengar bapak mengijinkan di bunuh Ompunta MULAJADI NABOLON si Sariburaja, dalam hatiku, akulah yang mau di bunuh, apalah aku di bandingkan Sariburaja yang tidak cacat itu?, kalau boleh permintaanku suruhlah bapak menyembunyikan aku, biarpun kelahiranku begini akulah anak yang paling besar.
Mendengar perkataan Raja Biak-biak ibunya menyuruh Guru Tateabulan menyembunyikan Raja Biak-biak ke Bukit Pusukbuhit. Setelah MULAJADI NABOLON naik ke atas, diminta Sariburaja di bunuhnya. Lalu di berikan ibunya.
Kata MULAJADI NABOLON : ” Pegang kakinya!”.
Jadi dipeganglah kakinya. Setelah itu di potong lalu di cincang.Sudah di sediakan api sebelumnya. Setelah selesai di cincang lalu di masak di atas api.
Setelah asap datang, berserulah MULAJADI NABOLON katanya : ” Yang mau menjadi Sariburaja keluarlah dari situ.
Lalu terangkatlah sariburaja dari sana kemudian duduk. Dia seperti Garaga, seperti garugu yang satu menjadi tujuh puluh.
Mengikuti kata orang, yang tinggal disana beraneka ragam binatang piaraan.
Ketika MULAJADI NABOLON kembali keatas dari Bukit Pusukbuhit ia naik. Lalu bertemulah dengan Raja Biak-biak : ” Siapa membawa kamu kesini “, kata MULAJADI NABOLON.” Kalau di lihat Ompung, aku ketakutan, takut di ketakutanku!, tadi kudengar kau ancam ompung membunuh Sariburaja, maunya akulah kau bunuh karena aku cacat. Aku memohon kepada ibu supaya bapak mengantarkan aku kesini. Akulah anak yang sulung ibu.
“Jadi maksudmu semua keturunan adikmu dan kakakmu bersembah sujud kepadamu”, kata MULAJADI NABOLON. “Tentu, karena aku paling besar, akulah yang pantas raja mereka”, kata Raja Biak-biak.
“kalau begitu, bagaimana, maukah kau ku ubah?”
“Ya, aku mau, kalau keturunan adik ku dan kakak ku mau bersembah kepada ku” kata Raja Biak-biak.
Jadi di berkati MULAJADI NABOLONlah Raja Biak-biak di Bukit Pusukbuhit itu. Jadi, dia punya kaki, tangan tetapi moncongnya seperti moncong babi.Sebagian berkata, dia punya sayap makanya di sebut namanya Tuan Rajauti, raja yang takkan pernah mati, raja yang takkan pernah tua.
Dari Bukit Pusukbuhit itu, diterbangkan MULAJADI NABOLONlah ia ke ujung Aceh.
RAJA BIAK-BIAK
Ia Raja Biak-biak, margoar di huhut Raja Gummelenggeleng na songaongumul do ibana ndang martangan, ndang marpa jala so boi hundul. Ibana do na lumea di bagasan ohana, ala so martihas angka anggina.Mangihuthon baritana : Ro do sahali Mulajadi Nabolon, tuat tu Sianjur Mulamula sorang tu Guru Tateabulan mangunjuni rohana, ai dipangido ma anakna Sariburaja seatonna.” Ba saguru di ho do Ompung!” ninna Guru Tateabulan mangalusi. Umbege I, didok Raja Biak-biak ma tu inana : “O inang! Hubege dioloi amanta nangkining seaton ni ompunta Mulajadi Nabolon si Sariburaja, ianggo di rohangku, ahu do na naeng seatonna, ai aha ma ahu martimbangkon Sariburaja na so martihas I?. Asa ianggo siat pangidoanku suru ma damang manabunihon ahu, ai atik pe songon on partubungku ahu do sipultak bajubajumu!”.Umbege hata ni Raja Biak-biak inana I, disuru Guru Tateabulan manabunihon Raja Biak-biak tu Dolok Pusukbuhit.Dung nangkok Mulajadi Nabolon tu bagas, dipangido ma Sariburaja seatonna. Jadi di lehon inana i ma. Didok Mulajadi nabolon ma : ” Tiop ma patna i!”, jadi di tiop ma tutu. Dung i diseat ma jala ditanggoi.Nungan di hodohon hian pangalompaanna. Ia dung sidung di anggoi dipambahen ma tu pangalompaanna i asa pamasahonna.Dung ro di pangalompaanna i, manggora ma Mulajadi nabolon didok ma :” Na olo gabe Sariburaja, ruar ma ho sian i!”, jadi mangangkat ma tutu Sariburaja sian i, laos hundul ma ibana tu halangulu. Nungan songon Garaga ibana, songon Garugu, na sada songon na pitupulu.Mangihuthon pandok ni na deba, sian angka na tinggal i laos manjadi ma ragam ni pahanpahanan.Ia di tingki na laho mulak Mulajadi nabolon tu banua ginjang, sian dolok Pusukbuhit do ibana manaek. Jadi jumpangsa ma disi Raja Biak-biak : ” Ise na mamboan ho tuson?”, ninna Mulajadi nabolon manungkun ibana.” Ianggo i da ompung, na mabiar do ahu di biarhu, matahut di tahuthu!. Hubege nangkining diondam ho da Ompung seaton Sariburaja, anggo di rohangku ahu do na naeng seatonmu, ala na martihas i ahu. Gabe hupangido tu dainang asa disuru damang manaruhon ahu tson. Ai ahu do sipultak bajubaju ni dainang.” Ba naeng marsomba tu ho di roham angka pinompar ni anggimi dohot ibotom?”, ninna Mulajadi nabolon.” Naeng ma tutu, ai ahu do sihahaan, ahu do na patut raja nasida!”, ninna Raja Biak-biak.” Antong molo songon i, beha, olo do ho tumpaonku?”.” Ba olo do ahu, asal ma marsomba tu ahu angka pinompar ni anggingku dohot ibotongku!”, ninna raja Biak-biak.Jadi di tumpa Mulajadi Nabolon ma Raja Biak-biak di dolok Pusukuhit i. Gabe, marpat, martangan, alai songon munsung babi (santabi) do munsung na.Mangihuthon pandok ni na deba marhabong do ibana. Di bahen ma goarna Tuan rajauti, raja na so ra mate, raja na so ra matua. Sian punsu ni dolok Pusukbuhit I, dipahabang Mulajadi Nabolon ma ibana tu ujung Aceh.

Disadur Dari: Rapolo

Legenda Tuak

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya „nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot.. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.
Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan
abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.


Disadur Dari: Rapolo